oleh

Bantah Nasdem, Pakar Sebut MK Tak Ambil Wewenang Legislatif dalam Putusan Pemisahan Pemilu

JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti mengatakan, Mahkamah Konstitusi tidak mengambil kewenangan legislatif seperti yang dituduhkan Partai Nasdem terkait putusan pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal.

Dia mengatakan, MK hanya memberikan garis batas agar demokrasi di Indonesia lebih terarah dan baik sesuai dengan konstitusi. Sebab itu, MK meminta agar pembentuk undang-undang yakni DPR dan pemerintah bisa melakukan rekayasa konstitusional tanpa melewati batas yang telah diputuskan MK.

“Karena lihat saja, mereka (para hakim MK) minta tolong pembentuk undang-undang kan. Bikin dong rekayasa konstitusionalnya, karena mereka memang enggak ada intensi untuk bikin undang-undang (baru), mereka (MK) benar-benar hanya menafsirkan pasal yang diminta,” kata Bivitri saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Selasa (1/7/2025).

Saat ini, kata Bivitri, justru bolanya berada di DPR dan pemerintah, apakah mau membuat revisi UU Pemilu yang sesuai dengan penafsiran konstitusi atau tidak. Dengan putusan MK nomor 135/PUU-XXIII/2025 ini juga, Bivitri menyebut undang-undang yang terkait dengan pemilu harus segera direvisi dengan garis batas yang telah diputuskan MK.

“Jadi yang dimaksud dengan rekayasa konstitusional itu seperti itu. Di level undang-undang diubah supaya sesuai dengan putusan yang dihasilkan,” katanya lagi.

Sebelumnya, Partai Nasdem menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) memasuki dan mengambil kewenangan legislatif dan pemerintah karena memutuskan pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).

Pasalnya, dalam pernyataan sikapnya, Nasdem menegaskan bahwa hal itu harusnya open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden atau pemerintah.

“MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah),” kata anggota Majelis Tinggi Partai NasDem, Lestari Moerdijat di kantor DPP NasDem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).

Selain itu, Lestari mengatakan, Nasdem menilai bahwa MK telah menjadi negative legislator sendiri. Padahal, bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis.

“Dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi,” ujarnya. Lebih lanjut, Wakil Ketua MPR yang biasa disapa sebagai Rerie ini memaparkan bahwa putusan MK itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.

β€œPerlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22e UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam putusan MK 95/2022,” katanya.

β€œSehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” ujar Lestari melanjutkan.