oleh

Hanisa: Perempuan Petani dari Lariang yang Melawan Ketidakadilan Sawit di Pasangkayu

PASANGKAYU – Hari ini, 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Namun bagi Hanisa, seorang ibu empat anak dari Desa Lariang, Kabupaten Pasangkayu, Hari Kartini bukan sekadar seremoni kebaya dan bunga-bunga.

Ia menjalaninya di medan perjuangan: melawan ketidakadilan yang merampas tanah tempat ia hidup dan bertahan.

Hanisa bukan tokoh besar di layar kaca, bukan pejabat, bukan pula aktivis ternama. Ia hanyalah seorang perempuan petani yang kini berdiri di garis depan perjuangan agraria bersama suaminya, Rinto Harahap (35),

Dan LSM Petani Center Sulawesi Barat—lembaga rakyat yang baru berdiri setahun lalu dan diinisiasi oleh seorang jurnalis advokasi bersama aktivis-aktivis muda.

Di Desa Lariang, ribuan hektar lahan milik warga kini dikuasai oleh perusahaan sawit skala besar. Pemerintah Kabupaten Pasangkayu seolah tak melihat—atau pura-pura tak peduli—meski suara petani menggema setiap minggu.

Hanisa kehilangan ladang tempat ia biasa menanam jagung dan sayuran. Tidak hanya ia, tapi juga puluhan perempuan petani lainnya. Mereka tidak hanya kehilangan tanah, tapi juga kehilangan harga diri, kehilangan harapan.

Namun Hanisa tidak diam. Bersama suaminya dan para pendamping dari Petani Center Sulbar, ia aktif dalam diskusi warga, pertemuan dengan aparat desa, dan bahkan aksi solidaritas lintas kampung. Ia menulis, bersuara, dan bersaksi.

Negara Absen, Perempuan Bangkit

Di tengah keheningan negara, perempuan-perempuan seperti Hanisa bangkit. Ia bukan sekadar korban. Ia menjadi penentu arah gerakan: menggerakkan dapur umum saat aksi, merawat anak-anak warga yang ikut berjuang, hingga menyusun narasi tentang tanah dan kehidupan bersama jurnalis pendamping.

“Kami cuma mau hidup tenang. Tidak minta istana. Kami minta tanah kami dikembalikan,” ucap Hanisa di hadapan wartawan beberapa waktu lalu.

Kartini di Tengah Sawit Nama Kartini kerap dikaitkan dengan pendidikan dan emansipasi perempuan. Tapi apa makna Kartini jika perempuan petani seperti Hanisa tak bisa menentukan nasib atas tanahnya sendiri?

Hari Kartini semestinya bukan hanya tentang wanita perkotaan, tapi juga tentang mereka yang selama ini tak terdengar: perempuan desa, petani kecil, ibu yang harus memasak tanpa hasil panen, dan istri yang tak gentar berdiri bersama suaminya di barisan paling depan.

Harapan dari Lariang, Hanisa tahu perjuangan ini tak akan selesai dalam semalam. Tapi ia juga tahu: jika ia diam, maka anak-anaknya akan tumbuh di atas tanah yang bukan miliknya.

“Kalau saya diam, anak saya nanti cuma jadi buruh. Saya ingin mereka jadi petani—yang punya tanah sendiri.”

Di tengah ladang yang kini jadi hamparan sawit, Hanisa tetap berdiri tegak. Ia adalah Kartini yang mungkin tak Anda kenal. Tapi dari desanya yang jauh dari sorotan, ia menanam harapan, dan memanen keberanian.  (jurnalis-bertasbih)