JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Ihza Mahendra mengatakan tak ada persoalan mendasar mengenai perubahan kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam revisi Undang-Undang Wantimpres.
Yusril menjelaskan secara historis mulanya Wantimpres dibentuk sejak era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Dalam sejarahnya pada tahun 2006, dalam posisi sebagai Menteri Sekretaris Negara, saya ditugasi Presiden SBY untuk mewakili Presiden membahas RUU tentang Wantimpres itu dengan DPR hingga selesai.
Dalam teks UU Nomor 19 Tahun 2006 itu tercantum tanda tangan pengesahan dari Presiden SBY dan tanda tangan saya selaku Menteri Hukum dan HAM Ad Interim yang mengundangkan UU itu dalam Lembaran Negara,” kata Yusril dalam keterangannya, Selasa (16/7/2024).
Yusril menyoroti hal yang menjadi pembicaraan terkait revisi UU itu ialah soal pergantian nomenklatur dari Wantimpres kemudian kembali menjadi DPA, serta soal jumlah anggotanya. Menurutnya, hal substansial adalah soal perubahan kedudukan dari semula di bawah presiden menjadi sejajar dengan lembaga negara lain.
“Perubahan dalam RUU yang diajukan DPR ini pada hemat saya memang tidak substansial jika dikaitkan hanya dengan nomenklatur dan berapa jumlah serta syarat untuk menjadi anggotanya.
Apa yang substansial adalah perubahan kedudukan dewan pertimbangan itu dari semua berada di bawah Presiden sebagaimana disebutkan dalam UU Wantimpres menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya,” ujar dia.
Yusril mengatakan DPA sendiri diatur dalam Bab IV UUD 1945 sebelum amandemen dan digolongkan sebagai lembaga tinggi negara. Namun, Bab IV yang mengatur DPA dalam konstitusi itu dihapus saat amandemen. Dengan begitu, Wantimpres yang ada saat ini berada di bawah presiden, bukan sebagai lembaga negara.
“Tetapi Pasal 16 yang mengatur tentang DPA dan berada di bawah Bab itu tetap ada namun diubah sehingga berbunyi, ‘Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang’.
Apa nama dewan pertimbangan yang dibentuk oleh presiden itu, tidak ada nomenklaturnya di dalam UUD 45 hasil amandemen,” kata dia. “UU Nomor 19 Tahun 2006 menamakannya ‘Dewan Pertimbangan Presiden’ dan menempatkan lembaga itu di bawah presiden. Itulah tafsir yang berkembang saat itu.
Pemikirannya adalah karena DPA sebagai ‘lembaga negara’ dihapuskan oleh amandemen, maka kedudukan Wantimpres ditempatkan berada di bawah Presiden sebagai lembaga pemerintah,” lanjutnya.
Sementara, lanjut Yusril, revisi UU Wantimpres saat ini menempatkan DPA sejajar dengan lembaga-lembaga negara lain. Inilah perubahan substansial yang membedakan antara Wantimpres dengan DPA, menurut Yusril.
Yusril mengatakan kewenangan presiden membentuk lembaga untuk memberikan pertimbangan dan nasihat kepadanya dengan tegas diberikan oleh Pasal 16 UUD 1945.
“Sementara dengan RUU inisiatif DPR sekarang ini, dewan penasehat yang dibentuk Presiden berdasarkan Pasal 16 UUD 45 hasil amandemen akan diberi nama ‘Dewan Pertimbangan Agung’ dan menempatkannya sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang lain yang disebutkan dalam UUD 45 hasil amandemen.
Pada hemat saya, seperti telah saya katakan di atas tadi, soal kedudukan dewan itu saja yang secara substansial membedakan antara Wantimpres yang ada sekarang dengan DPA sebagaimana termaktub dalam RUU inisiatif DPR ini,” katanya.
“Lembaga yang dibentuk oleh Presiden atas perintah UUD 45 dengan tugas untuk memberikan pertimbangan dan nasehat kepada Presiden, apakah nomenklaturnya akan dinamakan Dewan Pertimbangan Presiden atau Dewan Pertimbangan Agung,
Kewenangannya dengan tegas diberikan oleh Pasal 16 UUD 45, maka dewan itu dapat digolongkan sebagai lembaga negara yang sejajar kedudukannya dapat disejajarkan dengan lembaga-lembaga negara yang lain. Sebab, tidak ada lembaga lain dalam UUD 45 yang diberikan kewenangan untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden,” lanjutnya.
Pun, kata Yusril, tak ada persoalan mendasar secara HTN di Indonesia mengenai perubahan kedudukan antara Wantimpres dan DPA tersebut. Dia menilai revisi UU Wantimpres saat ini lebih menggunakan pendekatan penafsiran pada konstitusi ketimbang penafsiran tahun 2006 saat UU Wantimpres itu dibentuk.
“Dengan demikian, hemat saya tidak ada persoalan mendasar yang kita hadapi dari perspektif hukum tata negara, mengenai perubahan kedudukan Wantimpres yang semula adalah lembaga yang kedudukannya berada di bawah Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Agung yang kedudukannya sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang lain,” kata Yusril.
“Penafsiran sekarang ini lebih mendekati maksud UUD 45 dibandingkan dengan penafsiran tahun 2006 ketika UU Wantimpres dirumuskan oleh para pembentuknya, termasuk saya juga.
Tafsir tentang kedudukan lembaga-lembaga negara, atau tafsir apapun terkait dengan UUD selalu bersifat dinamis. Segalanya pada akhirnya dapat diterima setelah tafsir itu dituangkan ke dalam norma undang-undang,” pungkas dia.