JAKARTA – Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengakui ditegur salah satu petinggi negara, lantaran aksinya membongkar praktik mafia beras yang berpotensi merugikan konsumen senilai Rp 99 triliun.
Pengakuan Amran disampaikan kepada Komisi IV DPR RI saat rapat kerja (raker), Rabu (2/7/2025). Temuan ini merupakan hasil investigasi gabungan antara Kementerian Pertanian (Kementan),
Satgas Pangan Polri, Kejaksaan Agung (Kejagung), Badan Pangan Nasional (Bapanas), serta unsur pengawasan lain.
“Bahkan kemarin, Hari Bhayangkara, kami ditegur khusus oleh petinggi, kami tidak sebutkan namanya, ‘bahwa hati-hati dengan itu’
, saya katakan, ‘Pak ini merugikan negara, merugikan rakyat, merugikan petani, merugikan konsumen’. Jadi kami betul-betul persiapkan dengan baik.
Ini didasarkan pada data semua,” ujar Amran.
Sejak beberapa bulan lalu disinyalir adanya anomali lantaran harga beras di sejumlah daerah mengalami kenaikan, melebihi harga eceran tertinggi (HET).
Lonjakan itu janggal karena pasokan cadangan beras pemerintah (CBP) melimpah di Perum Bulog.
Usut punya usut, sebanyak 85,56 persen beras premium tidak memenuhi standar mutu, 59,78 persen dijual di atas HET, dan 21 persen memiliki berat yang tidak sesuai.
Tak hanya itu, hanya 20–40 persen beras SPHP alias beras subsidi yang dijual sesuai standar. Sisanya dikemas ulang dan dijual sebagai beras premium atau medium, yang tentunya lebih mahal.
“Kemudian potensi kerugian, izin Ibu Ketua (Komisi IV DPR RI), kami sampaikan apa yang melatarbelakangi ini, potensi kerugian Rp99 triliun.
Sebenarnya kami tidak ingin juga melakukan hal itu, bahwa mengecek, tetapi ada anomali terjadi dua bulan lalu, tiga bulan berturut-turut, harga di petani turun, tetapi harga di konsumen naik, stok banyak,” paparnya.
Kecurangan beras juga terjadi di pasar ritel dan supermarket. Amran menyebut, 88 persen beras yang dijual sudah dioplos. Tindakan ini pun mencederai para petani dan konsumen.
“Karena kami periksa supermarket, di pasar dicek dan seterusnya, melakukan hal serupa dan yang benar hanya 11 persen, yang 88 persen ini tidak benar,” beber Amran.
Amran memastikan, kasus ini diusut tuntas oleh Satgas Pangan Polri dan Kejaksaan Agung. Di lain sisi, ekosistem pangan di dalam negeri terus dibenahi.
“Kesempatan kita benahi, jadi yang dirugikan konsumen, kemudian yang dirugikan adalah petani. Petani yang setengah mati kerja, jadi kami lakukan ini, datanya lengkap, kami tidak buka, karena mereknya yang tidak sesuai 212 merek.
Kami sudah serahkan di polisi karena itu domainnya untuk penyidik,” lanjutnya.